Nalarpublik.com, Luwu — Pokja Percepatan dan Kolaborasi Investasi Kabupaten Luwu menggelar pertemuan dengan perwakilan 7 rumpun keluarga yang mengatasnamakan Anak Adat Ranteballa terkait aksi pemblokiran jalan menuju area operasional PT Masmindo Dwi Area (MDA). Pertemuan berlangsung di Belopa, Rabu (29/10), dan dihadiri oleh perwakilan Pokja, MDA, serta koordinator massa aksi.
Dalam forum tersebut, perwakilan kelompok menyampaikan keberatan mereka karena merasa tidak mendapat respons atas surat permohonan mediasi yang dikirim ke Satgas pada 7 Oktober 2025.
Mereka mengaku aksi pemalangan dilakukan sebagai bentuk protes atas dugaan pengalihan nama kepemilikan lahan dalam peta wilayah yang mereka klaim sebagai milik keluarga 7 rumpun berdasarkan peta tahun 1995.
Kelompok tersebut juga mengaku memiliki bukti-bukti kepemilikan lahan, termasuk dokumen dari PT Masmindo Ekasakti dan pemetaan 2012 yang dilakukan PT Martin Jati. Namun, hingga saat ini mereka menyatakan tidak bersedia menempuh jalur hukum, meski mengklaim bahwa dokumennya lengkap.
Ketua Pokja, Sofyan Thamrin, menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Luwu tidak memiliki kewenangan mengadili sengketa kepemilikan lahan. Jika para pihak yakin memiliki bukti legal, maka mekanisme penyelesaian yang sah adalah proses hukum.
“Pemkab dan Pokja bukan pengadilan. Kalau memang ada bukti, tempuh jalur hukum agar ada kepastian dan keadilan. Makam bukan bukti kepemilikan lahan,” tegasnya.
Sofyan juga meminta agar aksi pemalangan jalan tidak kembali terjadi, karena mengganggu aktivitas masyarakat dan mengganggu keamanan di wilayah latimojong.
“Aspirasi boleh disampaikan, tetapi pemblokiran jalan tidak dibenarkan. Kami tetap terbuka berkomunikasi, tetapi proses harus mengikuti aturan,” ujarnya.
Aksi pemalangan jalan yang dilakukan oleh Jumiati cs, pada Oktober 2025 ini menjadi sorotan karena bukan pertama kali terjadi. Jumiati, tercatat telah tiga kali memimpin pemalangan jalan: pada Juni 2025, September 2025, dan kembali terulang pada Oktober 2025.
Aksi yang pertama pada Juni berakhir dengan pembubaran paksa oleh aparat setelah jalan utama tertutup dan aktivitas operasional terhenti. Pada kasus itu, Jumiati bahkan menandatangani surat pernyataan di Polres Luwu yang berisi janji untuk tidak mengulangi tindakan pemalangan karena melanggar hukum dan mengganggu kepentingan umum.
Namun komitmen tersebut kembali dilanggar saat aksi serupa dilakukan pada September dan kemudian yang paling terbaru, 23 Oktober 2025 lalu, sebelum akhirnya akses kembali dibuka paksa oleh petugas keamanan demi menjaga kelancaran aktivitas masyarakat dan perusahaan.
Kelompok 7 rumpun kemudian menyerahkan sejumlah dokumen yang mereka klaim sebagai bukti kepemilikan lahan kepada Pokja. Dokumen tersebut akan dipelajari terlebih dahulu oleh tim.
Head Legal and land MDA, Muhammad Rizky yang juga hadir dalam pertemuan tersebut menyatakan tetap menghormati aspirasi masyarakat, namun menegaskan bahwa penyelesaian sengketa harus mengikuti koridor hukum.
Sementara itu, Pokja Kembali menegaskan bahwa penyelesaian konflik lahan tidak dapat dilakukan dengan tekanan massa ataupun pemblokiran jalan. Penyelesaian hanya dapat dilakukan melalui mekanisme yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. (*)
