Swasembada Beras di Tengah Harga yang Melambung, Fakta Atau Fiksi?

Oleh: Candra Mallondjo’

Nalarpublik.com, Luwu – Swasembada beras kembali menjadi narasi utama yang digaungkan oleh pemerintah sebagai simbol keberhasilan dalam sektor pertanian nasional. Istilah ini seringkali dipakai untuk menunjukkan kemandirian pangan, kebanggaan nasional, dan keberpihakan pada petani. Namun di balik kemeriahan klaim tersebut, kenyataan di lapangan justru menampilkan potret yang berseberangan. Bagaimana bisa negara yang menyatakan diri swasembada beras justru membiarkan harga beras meroket hingga Rp. 17.000 per kilogram?

Bacaan Lainnya

Secara ideal, swasembada berarti mampu memenuhi kebutuhan sendiri tanpa ketergantungan impor, didukung oleh produksi dalam negeri yang stabil, cadangan yang mencukupi, dan harga yang terjangkau bagi konsumen. Tapi fakta berbicara lain. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia masih melakukan impor beras, meski pemerintah telah berkomitmen menghentikan impor hingga 2026.

Pada Januari-Februari 2025 saja, total volume impor beras tercatat sebesar 95,94 ribu ton. Meskipun angka ini menurun drastis dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, tetap saja kenyataan bahwa impor masih berlangsung menunjukkan bahwa ketergantungan itu belum sepenuhnya hilang. Mayoritas beras tersebut berasal dari India, Vietnam, dan Thailand, sebuah bukti bahwa swasembada kita belum sepenuhnya berdiri di atas kaki sendiri.

Produksi nasional beras mungkin tergolong tinggi, tetapi harga di pasar justru tidak mencerminkan keberlimpahan itu. Di banyak daerah, harga beras sudah menyentuh angka Rp. 17.000 per kilogram, bahkan lebih. Ini memunculkan pertanyaan mendasar: Jika produksi cukup, kenapa harga tidak stabil?

Jawabannya terletak pada lemahnya sistem distribusi dan tata niaga yang tak efisien. Rantai distribusi yang panjang, maraknya peran tengkulak dan spekulan, serta tidak optimalnya peran Bulog dalam menyerap hasil panen petani turut memperburuk situasi. Akibatnya, petani tetap menjual gabah dengan harga rendah saat panen raya, sementara konsumen harus membeli beras dengan harga tinggi. Keadilan hilang di tengah jalan.

Klaim swasembada yang hanya fokus pada angka produksi tanpa memperhatikan aspek distribusi, kesejahteraan petani, serta keterjangkauan harga di pasar, pada akhirnya menjadi ilusi. Swasembada tidak bisa hanya diukur dari banyaknya tonase panen, tapi dari seberapa besar dampaknya terhadap kestabilan harga dan kesejahteraan rakyat.

Pemerintah seharusnya tidak berhenti pada pencitraan keberhasilan produksi, tapi juga membenahi rantai pasok, memperkuat kontrol terhadap pasar, serta memastikan ketersediaan pupuk dan sarana produksi lainnya. Peran Bulog sebagai stabilisator harga harus dioptimalkan, bukan sekadar simbol lembaga penyerap cadangan.

Yang kita butuhkan bukan hanya swasembada, tapi kedaulatan pangan. Artinya, sistem pangan harus dibangun dengan asas keadilan, kemandirian, dan keberpihakan, tidak hanya pada pasar, tapi juga pada petani dan rakyat kecil. Ketika beras menjadi barang mahal di negeri penghasil padi, itu menandakan ada kegagalan dalam sistem.

Kita perlu keluar dari jebakan narasi politik yang menjual “keberhasilan semu”. Swasembada harus nyata terasa: harga stabil, petani sejahtera, dan rakyat bisa makan tanpa terbebani.

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa swasembada beras di Indonesia masih berada di wilayah abu-abu, antara fakta dan fiksi. Fakta karena kita memang punya potensi besar dan angka produksi yang menjanjikan. Tapi juga fiksi karena klaim itu tak diiringi dengan kestabilan harga dan keadilan dalam distribusi.

Swasembada beras seharusnya menjadi berkah bagi rakyat, bukan ironi yang menyakitkan. Ketika masyarakat harus membeli beras dengan harga tinggi, sementara petani tetap tercekik oleh biaya produksi dan harga jual rendah, maka saatnya kita jujur jika yang kita butuhkan bukan sekadar swasembada, tapi sistem pangan yang adil, transparan, dan berpihak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *