Tak Ada Biaya Kuliah, Isla’ Rela Jadi Tulang Punggung Keluarga di Usia Muda

Nalarpublik.com, Luwu – Di sudut kecil Desa Senga Selatan, Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu, hidup seorang gadis cantik bernama Isla’. Di balik senyumnya yang lembut, tersimpan beban hidup yang begitu berat untuk seusianya. Gadis lulusan SMA itu menyimpan harapan besar untuk melanjutkan kuliah, namun kenyataan berkata lain.

“Apa gunanya mimpi tinggi kalau untuk beli beras saja susah,” ucap Isla’ lirih, menunduk sembari menahan air mata.

Bacaan Lainnya

Ayahnya telah tiada 4 tahun lalu. Kini, ia tinggal bersama ibu bersama 3 orang saudaranya, Isla’ yang merupakan anak bungsu sejak kepergian sang ayah, beban hidup seakan tak pernah pergi dari pintu rumah mereka. Tak ada penghasilan tetap, dan setiap hari mereka harus memikirkan bagaimana caranya bisa makan.

Isla’ sebenarnya ingin sekali kuliah. Ia ingin menjadi seseorang yang bisa membanggakan ibunya. Tapi saat melihat ibunya harus menahan lapar agar saudara-saudaranya bisa makan lebih dulu, hati Isla’ pun luluh. Ia tahu, mimpinya harus dikorbankan demi kenyataan yang tak bisa ditunda.

“Kalau kuliah, siapa yang bantu ibu? sementara ibu saya tidak bisa berbuat banyak dan hanya tinggal di rumah mengurus kami anak-anaknya. Kalau saya terus berharap, siapa yang bantu beli beras hari ini?” katanya pelan.

Sebagai tamatan SMA tanpa keterampilan khusus, Isla’ merasa pintu-pintu pekerjaan tertutup rapat. Di Luwu saat ini banyak Perusahaan, tapi tak semua menerima dengan tangan terbuka. Ia nyaris putus asa. Namun, dalam gelap itu, hadir sebuah cahaya kecil.

Seorang teman mengajaknya bekerja di sebuah warkop sederhana di Belopa, yakni Warkop Topoka yang ada di jalur dua jalan Pahlawan Belopa.!Awalnya ia ragu, tapi kebaikan hati sang pemilik warkop yang menerima Isla’ bekerja tanpa banyak tanya, menjadi titik awal harapan baru. Meski tempat itu belum terlalu butuh tambahan pekerja, pemiliknya melihat tekad Isla’ yang begitu kuat.

Kini, setiap pagi Isla’ membantu di warkop Topoka menyajikan kopi dan senyuman untuk pelanggan, meski hatinya kadang hampa. Di sela-sela waktu kerja, ia kerap melamun, membayangkan dirinya duduk di bangku kuliah, mengenakan jas almamater, dan mengejar mimpi-mimpi yang terkubur oleh kenyataan.

Namun Isla’ tidak marah pada hidup. Ia memilih berdamai, menanam harapan dalam diam, dan melangkah perlahan, meski jalannya penuh luka.

“Tidak apa-apa saya bekerja dulu. Asal ibu dan adik-adik bisa makan. Mungkin nanti, kalau ada rezeki… saya bisa kuliah. Mungkin.”

Begitulah Isla’, gadis tangguh yang menunda mimpinya demi cinta dan tanggung jawab. Di balik pakaian sederhananya, tersimpan semangat besar dan ketegaran seorang anak yang rela memikul beban dewasa sebelum waktunya. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *