Nalarpublik.com | PT Masmindo Dwi Area (MDA) tampaknya tidak bisa lepas dari tuduhan sebagai penyebab bencana banjir yang melanda Kabupaten Luwu dan sejumlah daerah di Sulawesi Selatan pada Mei 2024 lalu.
Padahal, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK) Sulawesi telah merilis hasil verifikasi mereka pada 23 hingga 27 Juli 2024 yang menyatakan bahwa tidak ditemukan korelasi penyebab antara aktivitas MDA dengan bencana banjir dan tanah longsor.
Bahkan, Gakkum LHK menyimpulkan bahwa dari segi perizinan lingkungan, rencana kegiatan MDA telah sesuai dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tahun 2019.
Verifikasi itu dilakukan untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat nomor 25/ADU-LHK/BPPHLHK.3/5/2024 tentang dugaan aktivitas pertambangan PT Masmindo Dwi Area menyebabkan banjir bandang di Kabupaten Luwu, Sidrap, dan Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan.
Senada dengan Gakkum LHK Sulawesi, Inspektur Tambang ESDM Sulsel, Muhammad Ramli, saat dikonfirmasi juga menegaskan bahwa PT Masmindo tidak memberikan kontribusi terhadap bencana banjir di beberapa daerah pada Mei lalu.
Secara sederhana, ia menjelaskan bahwa jika Masmindo adalah penyebab banjir, maka tidak mungkin daerah Siwa, Murante, dan sejumlah daerah lainnya juga terdampak banjir. Sebab, menurut dia, asesmen area atau sumber tangkapan air hujan sungai tersebut berbeda.
“Seandainya hanya Sungai Suso yang banjir dan beberapa daerah terkena dampak, maka saya juga berani mengatakan bahwa Masmindo penyebabnya. Tapi kan ternyata tidak, Sungai Siwa juga banjir, Sungai Bulete bagian selatan Latimojong juga banjir, dan beberapa daerah lainnya mengalami banjir,” katanya, Senin, 14 Oktober 2024.
Lebih lanjut, Ramli menjelaskan bahwa Sungai Kadundung yang mengalir ke Sungai Suso memiliki tiga asesmen area, yaitu Timbussan – Lembanan yang cabangnya adalah Kadundung, kemudian bagian kanan masuk ke area Masmindo yang asesmen areanya terbagi ke dua sungai: Sondang dan Ulu Salu.
“Jika kita membuka peta citra terbaru, bukaan lahan Masmindo di asesmen area Sungai Sondang dan Ulu Salu hanya 0,5 persen, sisanya bukan lahan masyarakat,” kata dia.
Ramli menuturkan bahwa setidaknya ada dua hal yang mendukung pernyataannya bahwa Masmindo bukan penyebab banjir pada saat itu. Pertama, Masmindo belum melakukan kegiatan penambangan, yang ada hanya eksplorasi atau pengeboran. “Kalau pengeboran itu masih sangat terbatas, tidak mungkin ada pembukaan sampai berhektar-hektar,” jelas dia.
“Kedua, suka atau tidak suka, kita harus akui bahwa bukaan lahan di Desa Rante Balla hingga Bastem bagian selatan disebabkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan cengkeh dan perumahan. Semakin banyak masyarakat, bukaan lahan semakin luas,” tambahnya.
Oleh karena itu, ia mengatakan sulit untuk mengklaim bahwa Masmindo adalah biang perusak lingkungan. Ramli menegaskan bahwa tuduhan kerusakan lingkungan harus didukung oleh fakta, seperti peningkatan kekeruhan air, pencemaran limbah beracun, atau polusi. “Semuanya harus diuji melalui laboratorium”.
Selama ini, Ramli telah mengecek laporan lingkungan, keselamatan pertambangan, dan inspeksi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) Masmindo. Ia memastikan bahwa perusahaan sudah menerapkan praktik pertambangan yang baik.
Kepala Teknik Tambang (KTT) MDA, Mustafa Ibrahim, juga menegaskan komitmen perusahaan terhadap kepatuhan regulasi dan tanggung jawab lingkungan.
“Kami selalu beroperasi dengan standar yang tinggi untuk memastikan bahwa aktivitas pertambangan yang dilakukan MDA tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Hasil verifikasi lapangan dari Gakkum LHK ini semakin menguatkan keyakinan kami bahwa operasional perusahaan sudah berada pada jalur yang benar,” ungkapnya.(*)